Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
PEMBERIAN hukuman penjara selama mungkin terhadap pelaku korupsi merupakan pola penjatuhan hukuman yang sudah usang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat saat ini ada tren hukuman yang lebih efektif membuat jera, yakni memiskinkan koruptor.
Hal itu disampaikan Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono dalam diskusi bertema Masih haramkah korupsi?, di kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, kemarin (Kamis, 8/6).
Menurut Giri, kini KPK berupaya selalu menggabungkan tindak pidana korupsi dengan pencucian uang untuk memiskinkan pelaku. Dengan begitu, mereka tidak bisa lagi melakukan kejahatan serupa.
"Pemiskinanlah yang sebetulnya efektif untuk menjerat pelaku korupsi karena orang kaya itu bisa melakukan apa pun. Anda lihat bagaimana seseorang bisa mengubah penjara Sukamiskin menjadi tempat yang nyaman. Itu adalah bukti bahwa kita gagal dalam menjerakan pelaku korupsi," terang Giri.
Wakil Sekretaris Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU) Idris Mas'ud bahkan menyarankan hukuman lebih keras, yakni hukuman mati, khususnya kepada residivis koruptor. Itu sesuai rekomendasi PBNU saat pengkajian hukuman kepada koruptor.
Berdasarkan hasil muktamar di NU, jika memang perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang dan merugikan negara secara besar-besaran dan tidak ada efek jera lain, hukuman mati bisa dijatuhkan kepada pelaku tersebut. Pasalnya, meski dampak hukuman mati kurang baik, kerusakan yang ditimbulkan dari tindak korupsi jauh lebih buruk.
Namun, Idris mengakui pengaplikasian hukuman itu masih diperdebatkan dengan hukum positif. Hukuman mati kerap dipandang melanggar hak asasi manusia.
Sanksi sosial
Juru bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi memandang perilaku korupsi tidak akan pernah selesai bila pendekatannya hanya dari pendekatan hukum tanpa disertai hukuman sosial di masyarakat.
"Hukum hanya alat bantu untuk menyelesaikan persoalan atau konflik sosial yang ada di masyarakat. Jika ukuran keberhasilan minimalisasi pelaku korupsi ialah berapa tahun seorang koruptor dihukum, sesungguhnya kita pasti akan gagal untuk melakukan proses minimalisasi korupsi," jelas Farid dalam kesempatan yang sama.
Menurut Farid, hal yang lebih penting ialah perilaku etika dan bukan berapa lama masa hukumannya atau berapa besar dendanya. Apakah masyarakat masih menerima yang bersangkutan sebagai bagian dari masyarakatnya atau memberikan sanksi sosial.
Persoalan sesungguhnya, kata dia, koruptor atau perilaku koruptif tetap diterima dengan sangat terbuka oleh masyarakat sebab tidak dianggap sebagai pelaku kejahatan.
"Pelaku korupsi malah sebaliknya. Di tempat saya seorang mantan gubernur, mantan wali kota yang pulang kampung selesai 'sekolah'-nya di Cipinang itu justru disambut dengan rebana, disambut dengan nasyid dan tokoh-tokoh masyarakat. Malah bakal dicalonkan lagi sebagai kepala daerah," papar Farid. Ia pesimistis pemberantasan korupsi bisa tuntas jika masyarakat masih berperilaku seperti itu.
Wacana memberikan hukuman yang lebih menjerakan mengemuka pascapenetapan Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Mochamad Basuki sebagai tersangka dugaan suap. Basuki sebelumnya pernah menjalani hukuman sebagai terpidana korupsi.(HS/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved