Penyelesaian Konflik Papua Butuh Paradigma Lebih Luas

KONFLIK di Papua masih belum juga mereda. Dari sejak era Orde Baru hingga Reformasi, di Papua, serangkaian kekerasan kerap terjadi.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, untuk dapat mewujudkan penyelesaian konflik di Papua, dibutuhkan paradigma yang lebih luas daripada sekadar menganggap setiap insiden instabilitas di Papua sebagai ancaman teritorial.

"Jangan hanya menganggap insiden di Papua eksistensial terhadap persatuan dan kesatuan," ujar Usman, Kamis (14/4).

Baca juga: Ribuan Orang Deklarasi Pembentukan Provinsi Papua Tengah

Dalam catatan akhir tahun Public Virtue, kecenderungan resentralisasi politik muncul dengan berubahnya UU Otsus 21/2001 melalui amandemen kedua yang disahkan oleh UU 2/2021.

Menurut Usman, otonomi pemerintahan Papua secara tiba-tiba ditarik kembali ke pemerintahan pusat.

Selain itu, kata Usman, rencana pemekaran wilayah semakin kencang digaungkan dan mendapat penolakan dan dianggap tidak akomodatif terhadap kepentingan Orang Asli Papua (OAP).

Guna membahas persoalan itu, Public Virtue Research Institute akan kembali menggelar kampanye media untuk Keadilan bagi Rakyat Papua yang akan dilaksanakan pada Kamis (14/3) melalui zoom meeting.

Sebelumnya, ribuan warga Kabupaten Mimika, Papua, turun ke jalan menggelar aksi dukungan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua Tengah.

Pemekaran wilayah disebut akan menyejahterakan warga Papua.

Aksi dihadiri 3 ribu masyarakat Mimika dari berbagai suku adat. Massa bergerak sekitar pukul 09.00 WIT dari Kota Timika menuju ke Kantor Bupati Mimika. Setiap perwakilan dari suku/kerukunan kemudian memberikan penyataan deklarasi dukungan pembentukan Provinsi Papua Tengah. Massa juga menegaskan wilayah Timika akan menjadi ibu kota DOB Papua. (OL-1)