Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Toleransi yang Terancam Abrasi

Cikwan Suwandi
14/6/2017 10:11
Toleransi yang Terancam Abrasi
(Seorang biksu bercengkerama dengan warga masyarakat di Desa Cemara jaya, Kecamatan Cibuaya, Karawang, Jawa Barat, pekan lalu---MI/Cikwan Suwandi)

JAUH sebelum Indonesia merdeka, sikap toleransi di sisi pantai utara (pantura) telah terjadi. Keberagaman dan saling menghargai antarumat beragama terbentuk ditunjukkan warga Desa Cemara Jaya, Kecamatan Cibuaya, Karawang. Hidup jauh dari hiruk pikuk pusat kota, desa yang dihuni 5.415 jiwa tersebut hidup tenang di tengah perbedaan suku dan agama.

"Penduduk kami ini sudah bertoleransi sejak dahulu, sejak zaman desa dibentuk ratusan tahun lalu. Di sini hidup bersama ada yang muslim, Buddha, dan Nasrani," kata Kepala Desa Cemara Jaya Yonglim Supardi kepada Media Indonesia, Minggu (11/6). Dengan luas wilayah 1.441 hektare, peta keagamaannya ialah 3.874 jiwa memeluk agama Islam, 1.394 beragama Buddha, dan 147 jiwa menjadi pemeluk Nasrani.

Kunci menjaga keberagaman tersebut, menurut Yonglim, ialah saling menghargai yang diajarkan nenek moyang mereka sejak dahulu tinggal di wilayah tersebut. Hal tersebut terbukti dengan keikutsertaan dan gotong royong seluruh masyarakat ketika setiap agama merayakan perayaan hari besarnya. "Di sini ada beberapa masjid, lalu tiga gereja dan wihara. Kalau misalnya ada salah satu umat yang mengadakan perayaan, mereka semua ikut berpartisipasi untuk membantu," ungkapnya. Sebagai pemimpin formal di desa tersebut, Yonglim menyediakan kantor desa sebagai ruang komunikasi antartokoh umat beragama.

Hal tersebut berguna untuk memecahkan masalahmasalah yang dapat memicu memecah belah keberagaman umat. Saling menjaga dan menolong pun ditunjukkan mereka melalui pembentukan Yayasan Mawar Santosa. Organisasi tersebut sebagai upaya nyata gotong royong antarumat beragama. Mereka mengoordinasi sumbangan warga untuk pemakaman, kegiatan keagamaan, hingga santunan. Mayoritas warga di sini bekerja sebagai nelayan dan petani penggarap tambak.

"Warga hanya menyumbang Rp1.000 per bulan per jiwa untuk biaya pemakaman, santunan, dan kegiatan keagamaan. Enggak ada yang dibedakan. Seluruh pengurus juga bukan hanya dari satu umat, tapi mewakili semua agama yang ada di desa ini. Jadi saling keterwakilan," papar Wanosuki, Humas Yayasan Mawar Santosa. Wanosuki juga mengakui jika tingkat keberagaman agama di Desa Cemara Jaya seharusnya dapat menjadi percontohan.

"Memang awalnya kita ini hidup seperti berbeda, tetapi sama-sama umat Tuhan. Terkadang dari ikatan perkawinan menjadikan kita ini saudara. Bahkan, ada yang satu rumah itu berbeda-beda agamanya," tandasnya . Dirinya berharap kondisi keberagaman ini dijaga dengan adanya dukungan dari pemerintah daerah atau pun pusat.

"Selama ini belum ada tokoh-tokoh FKUB atau dari pemerintah daerah mengapresiasi keberagaman di Cemara Jaya," ungkapnya. Sementara itu, Candianata, tokoh Buddha setempat, mengungkapkan langkah komunikasi yang baik antarumat ialah komunikasi yang baik untuk menjaga keberagaman. Saling mendoakan dan komunikasi dengan baik ialah kunci menjaga hal tersebut.

"Ketika isu-isu perbedaan menyeruak di negeri ini, hal tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup di Cemara Jaya. Selama ini kami damai dan tetap hidup rukun. Tidak terpengaruh dengan isu-isu di luar," tegasnya. Sayangnya, kedamaian mereka justru terusik oleh ancaman abrasi yang mengikis puluhan kilometer lahan darat. Sudah puluhan rumah hingga kuburan lama sudah terkikis abrasi.(OL-04)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya