Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Pengamen Kuliner tak Merasa Mengganggu

Yanurisa Ananta
06/6/2017 09:14
Pengamen Kuliner tak Merasa Mengganggu
(MI/Ramdani)

KULINER di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, memang menarik. Aroma makanan yang menggugah selera menyeruak dari ujung jalan kawasan Sarinah hingga sisi Gedung Bank Mandiri. Jelang buka puasa, semua tempat duduk telah terisi.

Pengunjung umumnya para karyawan yang berkantor di kawasan Jalan Thamrin dan sekitarnya. Mereka datang berombongan, ada juga yang dalam kelompok kecil, dan di sana mereka memecah diri ke dalam beberapa warung yang ada.

Mobil dan motor memenuhi area parkir. Tak hanya muda-mudi, warga lanjut usia yang tinggal di kawasan itu terlihat bersama keluarga bersantap di Sentra Makanan Jalan Sabang.

Kesibukan kuliner Jalan Sabang bukan hanya menjelang buka puasa. Suasana meriah dengan pengunjung yang berganti-ganti akan berlanjut hingga menjelang tengah malam.

Bukan hanya pedagang yang terlibat repot melayani, para pengamen dari usia muda hingga dewasa juga terlihat tak kalah sibuk. Di sela-sela lorong warung, mereka mendendangkan syair laksana hiburan bagi para pengunjung.

Mereka membawa berbagai alat musik, mulai gitar, drum box, hingga kicrik-kicrik botol berisi beras. Suara penyanyinya ada yang merdu, tapi kebanyakan asal-asalan. Lagunya tak pernah tuntas.

Kehadiran pengamen di tengah pengunjung sedang menikmati makanan terkadang mengganggu suasana. Beberapa pengunjung yang tadinya ingin makan malah membatalkan niat mereka. "Jangan di sini (Sabang). Kita makan di tempat tertutup. Banyak pengamen, noh," celetuk Feny, 30, kepada temannya.

Feny, karyawan bank swasta, mengaku menyukai kuliner Jalan Sabang dan sering makan malam di sana karena mengontrak tidak jauh dari sana. Belakangan ia lebih suka makan di restoran tertutup karena bising dengan pengamen.

"Makan tak sampai sejam. Biaya buat pengamen bisa setengah dari harga makanan. Misalnya, biaya makanan seharga Rp20 ribu. Selama makan, datang lima pengamen. Setiap pengamen kebagian Rp1.000 atau Rp2.000," jelas Feny.

Feny bersama temannya akhirnya pergi ke restoran tertutup di kawasan itu yang notabene jarang dimasuki pengamen. Suasana restoran memang lebih tenang dan adem, tetapi harga makanannya dua kali lipat jika dibandingkan dengan kuliner pinggir jalan.

Senada dengan Feny, pengunjung lainnya, Audi Nuraisa, 28, yang memilih makan di tempat tertutup, mengaku enggan makan di Jalan Sabang karena terganggu banyaknya pengamen. "Berisik. Enggak bisa ngobrol dengan teman," cetus Audi.

Pemantauan Media Indonesia, di kuliner Jalan Sabang, kemarin (Senin, 5/6) malam, pengamen tak pernah putus. Begitu pengamen satu bergeser, sudah datang pengamen lainnya. Begitu seterusnya. Tangan yang memegang makanan terpaksa sibuk mencari recehan.

Kebanyakan pengamen menerima pemberian apa adanya. Namun, ada juga yang menggerutu dan tidak menerima uang recehan Rp500. "Kesal kalau pengamennya pasang harga," kata Nanda, 28.

Salah satu pengamen mengatakan tidak peduli dengan pengunjung yang anti. Tugasnya menyanyi. Dirinya tidak peduli jika hal itu mengganggu orang makan. "Namanya juga kerja. Kalau enggak mau ada pengamen, makan saja di rumah atau restoran tertutup," sindirnya.(J-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya