PAYUNG-PAYUNG berwarna kuning dan kumpulan tenda kembali memenuhi pusat Kota Hong Kong, kemarin. Suasana itu menjadi tanda berkumpulnya kembali aktivis prodemokrasi setahun pascaunjuk rasa besar-besaran yang membuat lalu lintas di Hong Kong tersendat.
Kendati yang menggelar aksi ialah kelompok yang sama, kali ini jumlah para demonstran jauh lebih sedikit. Tidak hanya itu, kelompok prodemokrasi yang menamakan diri 'Gerakan Payung Kuning' itu tidak menuntut reformasi politik kepada otoritas di Beijing dan Hong Kong. Sekitar 100 demonstran berkumpul di 'Lennon Wall', sebuah tangga yang berada di luar gedung pusat pemerintahan.
Gedung itu telah penuh tempelan ribuan potongan kertas yang mengungkapkan dukungan terhadap aksi para demonstran.
Barisan payung-payung kuning yang menjadi simbol gerakan demokrasi itu menyatu dengan sejumlah tenda. Sebuah spanduk besar bertuliskan 'Saya ingin hak pilih umum' terpampang jelas.
Di bagian lain, ribuan tenda mengisi pinggiran jalan bebas hambatan yang melintasi Lennon Wall yang berada di distrik pusat bisnis Admiralty. Lokasi demonstrasi itu ternyata telah menjadi tempat menarik bagi para pasangan calon pengantin.
Satu pasangan yang segera menikah sempat berpose untuk pranikah dengan latar belakang lokasi yang pernah dipakai unjuk rasa. Calon pengantin perempuan mengenakan gaun putih dengan bagian pundak terbuka. Namun, ia memakai helm bangunan yang banyak dipakai demonstran saat berunjuk rasa.
Sejumlah pasangan kerap menjadikan lokasi demonstrasi sebagai latar pemotretan prapernikahan.
"Foto-foto akan dikenalkan kepada anak-anak dan cucu-cucu dan akan menunjukkan kepada mereka apa yang terjadi di Kota (Hong Kong) saat pernikahan kami," kata Issac Kan, 29, calon pengantin pria.
Aksi kemarin digelar para aktivis sebagai refleksi ketika mereka berjuang untuk mewujudkan kehidupan politik baru melalui pergerakan.
Pada tahun lalu, gerakan 'Pendudukan Pusat Kota' digelar untuk menuntut pemilihan pemimpin Hong Kong secara demokrasi di kota yang semiotonom itu. Gerakan itu dilakukan setelah lebih dari sepekan aksi unjuk rasa para mahasiswa berlangsung.
Saat itu, tepatnya siang hari hari, 28 September tahun lalu, ribuan demonstran bergabung dengan kerumunan aktivis yang menenuhi jalan-jalan dan sudut-sudut Kota Hong Kong setelah polisi membubarkan mereka dengan gas air mata.
Pembubaran paksa oleh polisi itu mengejutkan publik dan menjadikan gerakan itu dikenal dengan 'Gerakan Payung'. Pasalnya, para demonstran mengunakan payung sebagai pelindung dari matahari, hujan, serta serangan gas air mata dan semprotan cairan cabai yang dilakukan polisi. (AFP/Drd/I-2)