Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Setahun sejak Sanksi AS, Hidup Warga Iran semakin Suram

Tesa Oktiana Surbakti
07/5/2019 22:25
Setahun sejak Sanksi AS, Hidup Warga Iran semakin Suram
Warga Iran di pasar terbuka di ibukota republik Islam Teheran(AFP)

ALIREZA sempat memimpikan masa depan yang cerah di Iran, dengan memiliki mobil atau rumah baru. Sayangnya, harapan itu sirna setelah dirinya kehilangan pekerjaan, sebagai dampak pemberlakuan kembali sanksi dari Amerika Serikat (AS).

"Tidak ada lagi daya beli, hidup saya berada di bawah tekanan," tutur Alizera, seorang veteran di industri otomotif Iran. "Saya bahkan keluar dari golongan kelas menengah. Rasanya sungguh mengerikan," lirihnya.

Sudah satu tahun Negeri Paman Sam menarik diri dari perjanjian nuklir, yang menjanjikan pembebasan sanksi bagi Iran. Sebuah imbalan bagi republik Islam yang mengurangi program nuklir.

Pada 2015 ketika Iran mencapai kesepakatan, muncul harapan tinggi akan berakhirnya isolasi ekonomi yang melumpuhkan negara itu selama bertahun-tahun. Sejumlah hotel bahkan tidak bisa menampung masuknya investor asing. Presiden Iran, Hassan Rouhani, menyebut Iran memperoleh manfaat dari suntikan dana perbankan dan perusahaan asing yang mencapai US$ 100 miliar.

"Saat kesepakatan berhasil dicapai, itu benar-benar masa yang mengejutkan. Mereka merekrut tenaga kerja dari penjuru wilayah. Kami bahkan tidak punya waktu untuk menggaruk kepala kami," kenang Alireza.

"Namun, semuanya berubah pada 8 Mei 2018, ketika AS menarik diri dari kesepakatan," tukasnya.

Alireza kehilangan pekerjaan di pabrik otomotif asal Prancis, PSA Group, setelah mengabdi bertahun-tahun. Dia bersama ratusan pekerja lainnya, harus menelan pil pahit, begitu gelombang pertama sanksi yang berdampak pada sektor otomotif, mulai diberlakukan pada Agustus lalu.

"Saya terus mencari pekerjaan di mana-mana, tapi tidak pernah berhasil," ucap dia.


Baca juga: Indonesia-Norwegia Perkuat Kerja Sama


Seperti diberitakan, Presiden AS, Donald Trump, memandang perjanjian nuklir merupakan kesepakatan terburuk. Dia pun menerapkan kembali sanksi yang menyasar sistem perbankan Iran, ekspor minyak dan perdagangan komoditas logam.

Sebagian besar perusahaan internasional yang mendirikan usaha di Iran setelah kesepakatan nuklir 2015, termasuk Total Prancis, PSA Group dan Siemen Jerman, harus meninggalkan negara itu. Setidaknya, kehadiran investor asing tersebut diminimalkan.

Hilangnya lapangan pekerjaan dari perusahaan asing, devaluasi mata uang yang tajam dan inflasi yang melambung, telah mengubah kehidupan sebagian besar kelas menengah Iran.

"Dulu saya mengganggap diri ini sebagai kelas menengah atas. Apalagi 20 tahun lamanya saya menjadi pakar penjualan dan pemasaran di industri otomotif," kata Alireza yang memiliki catatan panjang bekerja dengan perusahaan asing.

Sekarang Alireza bergantung pada asuransi pengangguran, kurang dari setengah penghasilannya terdahulu. Dengan prospek pekerjaan yang redup, dia terpaksa menghapus harapan untuk mempunyai rumah lebih besar dan mobil berkualitas tinggi.

Bank sentral Iran menyatakan biaya rumah di wilayah ibu kota naik sekitar 104% sejak Maret 2018. Adapun harga mobil impor meningkat tajam, melampaui kemampuan masyarakat. Peluang perja juga semakin menipis.

Produsen otomotif domestik seperti Iran Khodro dan SAIPA, turut terdampak sanksi yang dijatuhkan Negeri Paman Sam. Bagi warga kelas menengah bawah, harga sejumlah komoditas pokok seperti daging, buah-buahan dan sayuran, semakin sulit dijangkau. Rendahnya daya beli merupakan dampak dari inflasi yang tidak terkendali. (AFP/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya