Akses untuk Tunanetra Terbatas

AKSES informasi bagi penyandang tunanetra di Indonesia masih terbatas. Salah satunya terlihat dari minimnya penyediaan buku berbicara atau audiobook bagi mereka.

Menurut perwakilan komunitas tunanetra Kartunet (Karya Tunanetra) Eko Ramaditya, minimnya audiobook karena penerbit di Tanah Air belum banyak yang tertarik untuk membuat buku tersebut. Sementara itu, Lembaga Penerbit dan Perpustakaan Braile (LPPB) Bandung juga belum mampu memproduksi audiobook maupun terus memperbarui judul buku yang baru beredar di Indonesia, lokal maupun internasional, karena keterbatasan jumlah pembaca teks audiobook.

"Pembaca teksnya masih sedikit. Karena memang sulit menemukan orang yang tidak hanya bisa membaca, melain-kan juga harus mengekspresikan dialog pada percakapan dengan baik," kata Rama dalam diskusi berjudul Penyediaan Buku Menjadi Audio untuk Disabilitas Penglihatan di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, kemarin.

Ia mengatakan, untuk membuat audiobook memang membutuhkan dana yang tidak kecil karena harus merekrut orang yang memiliki keahlian membaca dan mengekspresikan naskah. Belum lagi perlu adanya ilustrasi musik untuk meng-iringi suara pada audiobook.

Itulah, ujarnya, yang diduga menjadi persoalan sehingga penerbit enggan membuat audiobook pada buku-buku yang diterbitkan. "Di negara maju, akses informasi dan fasilitas untuk disabilitas jauh lebih baik. Audiobook selain dilengkapi ilustrasi musik juga disertai grafis. Stok audiobook juga selalu diperbarui, setiap kali ada buku baru yang terbit," terangnya.

Ia berharap agar pemerintah meningkatkan literasi bagi disa-bilitas, khususnya tunanetra. Karena, kata Rama, pemerintah merupakan pihak yang paling memiliki legitimasi untuk melakukan hal tersebut.

Sekalipun anggaran yang dimiliki pemerintah terbatas, melalui regulasi, swasta bisa diajak untuk berpartisipasi dalam menyediakan audiobook bagi para penyandang tuna-netra.