Aku Bersajak, maka Aku Ada

SIANG yang terik di sudut Matraman, Jakarta Timur, perlahan susut saat sajak-sajak mulai berkumandang dari sebuah tempat yang pernah terpuruk kusam itu. Pendar tampak kembali memancar ketika para begawan syair bergantian naik podium, melantunkan langgam mereka.

Seorang lelaki berpeci dengan setelan batik merah membacakan syair-syairnya seperti dongeng, mengalun membawa pendengarnya hanyut. Penyair Taufik Ismail, 83, menjadi salah satu pembaca puisi di Istana Peradaban, Balai Pustaka, Rabu (11/7).

Tak cuma Taufik, sosok bertopi dengan celana kargonya juga maju. Kali ini, ia duduk. Ia memulainya dengan lantunan selawat, yang juga menjadi penutup larik-larik baitnya.

Sutradji Calzoum Bachri, 77, lelaki yang lekat dengan julukan Presiden Puisi Indonesia itu juga berpuisi.

Sore semakin ekspresif, tatkala Iman Soleh, lelaki yang akrab bergelut di panggung teater ini membacakan puisi dengan berbagai langgam kedaerahan. Sesekali ia tampak seperti bermonolog, sesekali ia juga menyanyikan syair.

Dibuka pada Mei 2017 lalu, Sanggar Sastra ini dihidupkan di bawah Direktur Balai Pustaka Achmad Fachrodji untuk dikenalkan kepada generasi milenial. Sanggar yang baru menelurkan dua generasi dengan jumlah peserta hampir 300 ini memiliki kegiatan untuk menyulut proses kreatif generasi milenial lewat musikalisasi puisi dan teater.

Begitulah, geliat puisi di Tanah Air semakin semarak di kampus-kampus, gedung, hingga warung kopi. "Terimalah puisi sebagai keluarga, jangan anggap dia sebagai orang asing sampai masyarakat tak kenal apa itu puisi," ujar Rhy Husaini, salah satu anggota komunitas Ngopinyastro di Yogyakarta.

Tak hanya di dunia nyata, nyanyian puisi juga mengalir di laman-laman daring. Akun instagram @wikipuisi misalnya, yang telah memiliki 62.300 pengikut dan telah mengirim 2.774 unggahan.