Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
PRESIDEN akan turut menentukan pengangkatan rektor perguruan tinggi negeri. Langkah tersebut diambil karena ada kekhawatiran berkembangnya ideologi-ideologi di luar Pancasila di lingkungan kampus.
"Penentuan rektor selama ini oleh Dikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi/Kemenristek Dikti). Hasil komunikasi kami dengan Mensesneg, dengan Bapak Presiden, Pak Menristek Dikti (Mohammad Nasir), saya kira terakhir (penentuannya) harus dari Bapak Presiden," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di kantornya, kemarin (Kamis, 1/6).
Menurutnya, kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan informasi dari Kemenristek Dikti, ada seorang dekan di salah satu perguruan tinggi yang menganut paham Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Saat hendak dilantik menjadi rektor, lanjut Tjahjo, baru ketahuan bahwa yang bersangkutan merupakan pendukung paham radikal. Akhirnya, pelantikan dibatalkan.
"(Ketika) mau disahkan Pak Menristek Dikti, baru ketahuan. Satu kasus pun harus dicermati, karena menyangkut mahasiswa dan masyarakat. Peran perguruan tinggi sama dengan peran pers, yaitu bisa berkomunikasi dengan masyarakat, semua lapisan, bisa menggerakkan, dan ikut mengorganisasi pembangunan pola pikir," jelas Tjahjo.
Terkait dengan mekanismenya, sudah disusun Kemenristek Dikti dan dikonsultasikan kepada Presiden Joko Widodo. "Mekanisme bakunya sudah ada. Sama dengan sekda (sekretaris daerah), bupati, wali kota, sama dengan gubernur dengan sepengetahuan Bapak Presiden. Saya tidak bisa mendefinisikan, (tapi) kira-kira ada forum konsultasi antara Pak Menristek Dikti dan Bapak Presiden untuk memutuskan siapa yang jadi rektor," jelasnya.
Dengan rektor dipilih langsung oleh Presiden, menurut Tjahjo, pemerintah bisa lebih ketat mencermati gerakan serta ideologi berbahaya yang berkembang di kampus. Diharapkan, komitmen pemerintah untuk membangun karakter generasi muda berwawasan Pancasila pun bakal lebih mudah dilakukan.
"Gerakan-gerakan aktualisasi kampus itu memang harus dicermati. Pak Menristek Dikti M Nasir memang sudah menyampaikan, rektor harus bertanggung jawab. Tapi, proses untuk penyeragaman saya kira harus dari Bapak Presiden," tandasnya.
Abal-abal
Di sisi lain, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Yayuk Sri Rahayuningsih mengatakan, banyak perguruan tinggi tidak memenuhi standar ketentuan alias abal-abal, namun mendapatkan akreditasi dari Kemenristek Dikti.
Selain itu, banyak perguruan tinggi tidak mengikuti proses belajar mengajar dengan benar, bahkan terkadang tidak memiliki mahasiswa.
"Sebenarnya, Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) ini seperti apa? Kedudukan evaluasi perguruan tinggi sekarang ada di mana?" tanyanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan pejabat Kemenristek Dikti di ruang rapat Komisi X, Rabu (31/5).
Ia juga mengungkapkan, banyak perguruan tinggi seperti hidup segan mati tak hendak. "Mahasiswanya tidak ada, atau sedikit. Rasio antara mahasiswa dan dosennya juga tidak tepat, tapi terakreditasi B. Seharusnya ini menjadi evaluasi sesuai dengan standar yang dibuat," tegasnya.(Deo/RO/H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved