Industri Butuh Relaksasi Kepailitan

KONDISI force majeure sebagai dampak pandemi covid-19 telah menghantam dunia usaha, termasuk industri properti. Permasalahan yang mengemuka di sektor itu ialah kasus kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) mencatat setidaknya lebih dari 20 perusahaan properti digugat pailit selama pandemi covid-19.

"Kondisi ini memprihatinkan kami semua karena kondisi kepailitan ini hanya membutuhkan dua penggugat untuk melakukan gugatan pailit. Selain itu, memang ada perusahaan-perusahaan yang berniat untuk memailitkan diri," kata Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida dalam sambutannya pada webinar Relaksasi Pelaksanaan Kepailitan dalam Kondisi Force Majeur Pandemi Covid-19, pekan lalu.

Menurut Wakil Ketua Umum DPP REI Bidang Regulasi dan Perundang-undangan Ignesjz Kemalawarta, gugatan kepailitan yang bisa dilakukan hanya dua orang itu dinilai terlalu mudah dan kurang tepat. Padahal, menurutnya, dampak gugatan kepailitan sangat berat karena dapat menghancurkan reputasi dan citra developer, sementara perusahaan properti tersebut nantinya belum tentu benar-benar diputuskan pailit.

"Kami mengusulkan adanya prasidang sebelum gugatan kepailitan dan PKPU diajukan ke pengadilan niaga sehingga tidak menimbulkan dampak lebih luas terhadap perusahaan dan pihak lain yang dapat dirugikan termasuk pembeli," jelasnya dalam kesempatan yang sama.

Rektor Universitas Airlangga M Nasih menyebutkan, dalam kondisi saat ini, relaksasi menjadi sangat penting dan perlu diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang digugat pailit dan yang mengajukan kepailitan.

"Karena kondisinya memang lagi-lagi bukan merupakan kejadian yang permanen. Relaksasi dalam kondisi seperti ini, menurut saya, patut diberikan kepada semua pihak," katanya.

Dia menekankan tidak ada yang diuntungkan dari proses kepailitan tersebut. Malah, menurutnya, semua pihak harus membangun optimisme bahwa hal itu tidak terjadi secara permanen.

"Semua pihak justru mengalami kerugian-kerugian signifikan. Apalagi kalau kita berkaca ini kondisinya tidak permanen. Bahkan konsumen atau customer yang justru sering kali menjadi pihak yang dirugikan ketika terjadi pemenuhan dari permohonan kepailitan atau PKPU yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan," jelasnya.

Nasih menjelaskan syarat adanya PKPU ialah perusahaan atau badan usaha tidak dapat memenuhi kewajiban yang sudah jatuh tempo yang disebabkan adanya insolvensi.

"Pailit itu baru mungkin dilakukan kalau insolvensinya terjadi secara permanen. Ini penting. Kalau hanya satu tahun kemudian ada harapan tahun berikutnya baik lagi, menurut saya, proses untuk pemailitan ini menjadi hal yang belum memenuhi persyaratan," katanya.

Hati-hati

Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nani Indrawati mengatakan Mahkamah Agung (MA) telah membina para hakim niaga agar mempertimbangkan dengan hati-hati permohonan pailit dan PKPU yang diajukan dalam masa pandemi.

Hakim agung MA Syamsul Maarif pun memberikan catatan dalam untuk sistem kepailitan. Menurutnya, kelak kepailitan harusnya merupakan salah instrumen untuk mengontrol dan membantu menyiapkan kembali usaha yang mengalami kesulitan. (S-3)