MENINGKATNYA penggunaan gawai di era 4.0 dan 5.0 meniscayakan kemudahan untuk terhubung. Siapa pun, di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun keterhubungan itu menjadi mudah, murah, dan instan.
Akan tetapi, bersamaan dengan keniscayaan interkoneksi melalui teknologi informasi itu, hadir pula kerentanan dan kerawanan. Data pribadi dan atau institusi menjadi demikian rentan berpindah posisi dan lokasi. Celah pemanfaatan, penggunaan, pencurian, penipuan, dan penyalahgunaan pun begitu menganga.
Insiden yang menimpa wartawan senior Ilham Bintang hanyalah salah satu dari ribuan bahkan jutaan kasus pencurian dan penyalahgunaan data pribadi di era milenial ini. Nomor kartu SIM telepon seluler (ponsel) milik Ilham dicuri. Uang ratusan juta rupiah di dalam rekening bank miliknya pun dikuras pencuri melalui penyalahgunaan data yang diakses melalui nomor kartu seluler itu.
Ilham pun melaporkan kasus pembobolan ponsel dan rekening yang dialaminya itu ke Polda Metro Jaya pada 17 Januari 2020. Kasus Ilham itu menjadi hot topic dalam pemberitaan di media arus utama ataupun media sosial beberapa pekan terakhir ini.
Meskipun komplotan pelaku pembobol dan penyalahgunaan data pribadi Ilham Bintang itu akhirnya bisa diungkap dan digulung Tim Subdit Jatanras Polda Metro Jaya, tidak berarti kasus pencurian dan penyalahgunaan data pribadi tidak akan terulang.
Bahkan, dapat kita sebut, kasus Ilham Bintang termasuk yang sedikit atau bahkan sangat sedikit di antara ribuan atau jutaan kasus serupa yang menjadi dark number alias tidak terungkap. Terungkapnya kasus penyalahgunaan data pribadi itu boleh jadi karena status Ilham yang wartawan senior dan dia juga gigih mengungkapnya secara terus-menerus melalui berbagai saluran dan koneksinya di institusi kepolisian.
Jika korban hanyalah orang biasa dan tidak memiliki posisi seperti Ilham, bisa jadi kasus pencurian dan penyalahgunaan data pribadi itu menambah panjang daftar dark number. Apalagi, perlindungan hukum terkait kegiatan transaksi elektronik belum sepenuhnya mampu menjamin keamanan bagi publik.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memang menyebutkan salah satu tujuan hukum di bidang ITE ialah untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum. Akan tetapi, pada praktiknya, hal itu belum dapat diimplementasikan seluruhnya dan semestinya.
Melalui gawai, setiap saat kita menerima berbagai pesan penawaran dari berbagai pihak. Padahal, kita tidak pernah memberikan nomor-momor atau akun pribadi kita kepada pihak-pihak itu. Artinya, penyalahgunaan data pribadi sebagai akibat dari penjualan data profiling pemasaran, penelitian, bahkan pemantauan ilegal bukan lagi sebatas dugaan. Kasus Ilham Bintang menjadi konfirmasi sangat telanjang atas berlangsungnya praktik itu.
Karena itu, perlindungan bagi publik di ranah ini benar-benar telah menjadi urgensi. Kita mendukung dan menyambut baik rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 24 Januari 2020.
Bahkan, kita mendesak DPR agar pembahasan dan pengesahan RUU itu lebih dipercepat dan disegerakan. Apalagi, negara-negara tetangga kita di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, serta negara lainnya telah memiliki regulasi tersebut.
Sebagai negara yang menargetkan diri menjadi pemain ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan kapitalisasi US$130 miliar tahun ini, bagi Indonesia, penguatan regulasi perlindungan data pribadi bukan lagi pilihan. Ia telah menjadi keharusan.