Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Meruginya Bangsa yang tidak Membaca

Hera Khaerani
15/5/2016 02:30
Meruginya Bangsa yang tidak Membaca
(MI/HERA KHAERANI)

ASIH seorang insinyur. Perempuan itu lahir dan dibesarkan di Indonesia dengan pendidikan sekolah negeri yang sama sekali tidak pernah memaksanya masuk sistem pendidikan bilingual. Selama ini dia merasa sudah cukup banyak membaca. Namun, ketika dia mendapat kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri, barulah dia paham betapa sedikitnya dia membaca bila dibandingkan dengan teman-temannya dari negara lain.

Sejak saat itu dia menyadari betapa meruginya bangsa Indonesia yang menjadikan aktivitas membaca sebagai kemewahan. "Di negara ini orang membaca buku demi kepraktisan. Orang membaca buku agama karena ingin tahu cara masuk surga. Orang baca buku panduan bisnis karena ingin kaya. Padahal, ada dimensi lain tentang membaca, yakni belajar empati dan perspektif.

Masyarakat perkotaan bisa tahu soal kehidupan di desa. Lewat baca buku juga kita bisa tahu orang-orang gay ternyata tidak jauh berbeda dengan diri kita," cetusnya. Asih merupakan salah seorang peserta panel bertajuk Nation That Doesn't Read di ASEAN Literary Festival, Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat (6/5) sore. Pengakuan dan pandangannya mewakili kondisi banyak warga Indonesia yang tidak menyadari betapa pentingnya membaca, terutama karya sastra. Tidak ada yang mampu menyangkal tingkat literasi di Indonesia masih amat rendah.

Baru-baru ini, survei The World's Most Literate Nations (WMLN) yang diadakan Central Connecticut State University menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. John Miller, President of Central Connecticut State yang mengadakan survei WMLN, mengaku peringkat itu tidak didasarkan pada kemampuan masyarakat untuk membaca, tapi berdasarkan literate behavior dan sumber-sumber pendukungnya. Terdapat lima kategori yang dipakai sebagai indikator tingkat kesehatan literasi di negara, yakni perpustakaan, surat kabar, input, output pendidikan, juga ketersediaan komputer. Finlandia dianggap paling literate, mengungguli Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, juga Inggris. Indonesia berada di urutan kedua terakhir, hanya unggul di atas Botswana.

Kemunduran Literasi Indonesia

Posisi Indonesia di tingkat dunia dalam hal literasi disesalkan John McGlynn, salah seorang pendiri Lontar Foundation yang fokus menerjemahkan dan memublikasikan literatur dari Indonesia ke bahasa asing.

"Ini patut disayangkan karena Indonesia sebenarnya punya sejarah literasi yang amat panjang," katanya ketika menjadi salah satu pembicara dalam panel Nation That Doesn't Read. Ia mengambil gurindam dan sastra Melayu di masa lalu sebagai contoh. Keprihatinan yang sama juga diutarakan Endy Bayuni, editor senior The Jakarta Post.

"Kita tahu kita punya masalah, literasi, dan kebiasaan membaca di negara ini rendah. Celakanya seringnya masalah itu dijawab dengan pembelaan bahwa kita condong pada tradisi lisan, sesuatu yang masih bisa diperdebatkan dan tak selayaknya dipertahankan," pikirnya.

Di sisi lain, akses bahan bacaan masih rendah, harga buku mahal, industri penerbitan buku masih sangat berorientasi laba, dan apresiasi kepada penulis rendah. Dulu penulis sekelas Pramoedya Ananta Toer karyanya dilarang di Indonesia, tapi dia dihargai di luar negeri. Sekarang dalam hal apresiasi karya penulis Indonesia yang mendunia pun masih sama, banyak yang tidak dibaca pembaca Tanah Air. Buntut dari tingkat literasi yang rendah itu amatlah panjang dan mencakup banyak lini kehidupan. Masyarakat jadi tidak mampu berpikir kritis dan rentan dimanipulasi pihak-pihak dengan berbagai kepentingan, kurangnya kreativitas, tingkat kemiskinan tinggi, kemampuan bersaing rendah, jurang perbedaan antara yang berpendidikan dan tidak berpendidikan makin lebar, juga gap antara si kaya dan miskin. Di Indonesia, belum semua sekolah memperkenalkan bacaan selain buku pelajaran.

Karena itu, anak pun tidak pernah mengenal kesenangan membaca. Tidaklah mengherankan bila Elizabeth Pisani, seorang jurnalis dan peneliti asal AS pemerhati Indonesia, pernah menulis artikel yang mencengangkan berjudul Indonesian kids don't know how stupid they are. Di dalamnya dia menyoroti betapa rendahnya kemampuan anak Indonesia dalam kemampuan matematika dan sains. Satu-satunya keunggulan Indonesia ialah tingkat kebahagiaan anak-anak di sekolah. Meski memalukan, tulisan itu didorong keprihatinan Pisani atas kualitas pendidikan di Indonesia yang mengancam masa depan anak-anak.

Cara memperbaikinya

Tentu, ada banyak sekali tantangan yang mesti diatasi untuk meningkatkan tingkat literasi di Indonesia, tapi harapan itu ada. Di berbagai daerah, banyak gerakan literasi akar rumput yang membuat anak-anak bisa mengakses buku dengan lebih mudah, baik itu lewat perpustakaan berkuda, perpustakaan di atas perahu, maupun perpustakaan keliling.

Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Paivi Hiltunen-Toivio mengatakan, bahkan di negaranya yang kini memiliki reputasi baik dengan tingkat literasi tertinggi, mereka masih menjalankan perpustakaan keliling dengan bus. Jadi, Indonesia ada di trek yang tepat. Cara lainnya ialah penerjemahan. Endy menyarankan lebih banyak buku-buku asing diterjemahkan untuk membuka wawasan pembaca Indonesia. Jepang membuktikan langkah itu sangat efektif bagi negara mereka.

Mereka memilih menerjemahkan nyaris segala hal. Ini berbeda dengan India yang memilih untuk mempelajari bahasanya. Ketika rakyat mereka mampu berbahasa Inggris, mereka bisa mengakses bacaan berbahasa asing itu. Untuk Indonesia, Endy mengamini pendapat budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah mengatakan pilihan bagi Indonesia baiknya menerjemahkan karya-karya asing. Terkait dengan penerjemahan itu, John Mc Glynn menyarankan agar kita membiasakan anak menonton dengan subtitle alihalih film asing dengan pengisi suara yang sudah diterjemahkan (dubbing). Menonton film dengan subtitle memaksa anak membaca dan memahami bahasa asing.

Di sisi lain, internet juga layak dianggap sebagai media untuk meningkatkan literasi karena banyak yang membaca le wat internet dengan buku digital dan se bagainya. Penting pula memahami cara menumbuhkan kebiasaan membaca. "Jangan paksa anak untuk membaca jenis buku tertentu, beri mereka bacaan yang menyenangkan yang membuatnya ingin membaca lagi dan dengan cara itu terbentuklah kebiasaan membaca," saran John. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya