Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Asa di Pundak Pejabat Sementara

(Deo/P-2)
05/12/2016 00:30
Asa di Pundak Pejabat Sementara
(ANTARA/WIDODO S. JUSUF)

KEWAJIBAN cuti tanpa tanggungan mengikat para calon petahana jika maju kembali dalam Pilkada 2017. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016, kekosongan kursi kepala daerah itu diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt) atau Pejabat Sementara (Pjs) kepala daerah yang ditunjuk langsung Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Penunjukan Plt atau Pjs kepala daerah ini potensial menimbulkan masalah. Di Ibu Kota, misalnya Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono dituding merombak sistem penganggaran yang telah disusun Gubernur

nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok. Sumarsono membatalkan 14 proyek lelang dini yang akan dianggarkan dalam APBD DKI 2017. Padahal, Ahok menggelar lelang dini agar proyek bisa langsung dikerjakan pada awal tahun setelah APBD DKI 2017 disahkan dan penyelesaian proyek bisa diakselerasi. Lelang dini pun dilakukan Ahok supaya anggaran yang mangkrak segera terserap. Sumarsono beralasan Ahok mengabaikan 'kualitas proses' pembuatan kebijakan sehingga proyek-proyek tersebut tidak bisa diketok.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008, seharusnya seorang Plt tidak punya kewenangan untuk mengutak-atik kebijakan pejabat sebelumnya. Namun, dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Plt diberikan kekuasaan setara dengan kepala daerah definitif. Dalam Permendagri itu disebutkan bahwa Plt gubernur, Plt bupati, dan Plt wali kota memiliki tugas dan wewenang menjalankan roda pemerintahan umum dan memelihara ketenteraman ketertiban masyarakat. Selain itu, mereka juga wajib memfasilitasi penyelenggaraan pilkada dan menjaga netralitasnya.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, Plt kepala daerah juga boleh menandatangani perda tentang perangkat daerah. Bahkan, Plt juga bertugas mengisi jabatan-jabatan di organisasi-organisasi tersebut. Bisa dibilang, hampir tidak ada yang beda antara Plt dan kepala daerah definitif. Untuk menjaga agar Plt tidak bisa seenaknya, Mendagri pun 'memagari' kewenangannya. Setiap kebijakan strategis, misalnya wajib dikonsultasikan dengan Mendagri.

Khusus untuk Plt bupati dan wali kota, izin tertulis pun harus diminta kepada Mendagri sebelum sebuah kebijakan bisa dieksekusi Plt. Namun demikian, tidak dapat dimungkiri penyalahgunaan kewenangan tetap potensial ketika Plt duduk sebagai penguasa daerah selama lebih dari seratus hari. Pasalnya, masa kekuasaan Plt berbarengan dengan masa kampanye pilkada, pembahasan, dan ketok palu APBD. Plt wali kota dan bupati bisa dikata yang paling rentan menyalahgunakan kekuasaan. Mereka lazimnya ditunjuk dari kepala dinas di pemerintah provinsi dan cenderung memiliki afiliasi politik dengan kandidat-kandidat yang bertarung pada kontestasi pilkada serentak.

Utak-atik kebijakan pemda untuk mendukung kandidat tertentu pun sangat dimungkinkan. Karena itu, pengawasan berlapis harus dipasang. Selain oleh Kemendagri, pengawasan dari DPRD setempat, Bawaslu, dan KPUD juga harus sama kuat. Apalagi, Plt cenderung tidak punya pengalaman memegang tali kekang kekuasaan. Terlebih, kekuasaan bagi 'para pemula' cenderung memabukan dan membingungkan. Plt yang kurang bijak dan kurang awas pun potensial menjadi mangsa para pemain anggaran.

Di sisi lain, publik tentunya menaruh asa besar pada pundak Plt. Seyogianya, kebijakan dan program-program positif yang dijalankan kepala daerah definitif bisa terus dijalankan. Jangan sampai masa kekuasaan Plt yang 'singkat' justru menghambat gerak maju pembangunan di daerah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya