PROSES pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan Nasional (Kamnas) berlangsung sangat panjang dan alot. Semenjak diajukan pertama kali ke DPR pada 2005, hingga kini RUU usulan pemerintah itu belum juga disahkan menjadi undang-undang karena masih banyak sandungan akibat adanya pertentangan pendapat sejumlah pihak.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014, misalnya, menolak RUU tersebut karena substansinya dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Potensi itu tampak dalam ketentuan mengenai ancaman, kegiatan intelijen, penyadapan, dan penangkapan. Juga, itu dianggap berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri, serta mengancam kebebasan pers.
Pada akhir Januari silam, Kementerian Pertahanan kembali mengajukan RUU itu ke DPR untuk dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Pengajuan dilakukan bersamaan dengan tiga RUU lainnya, yakni RUU tentang Rahasia Negara, RUU tentang Revisi UU TNI, dan RUU tentang Komponen Cadangan.
Menurut Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, draf RUU Kamnas yang diajukan ke dewan itu secara substansial sama seperti yang diajukan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hanya ada perbaikan redaksional.
Namun, Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo mengatakan pihaknya belum berencana memasukkan RUU Kamnas ke Prolegnas prioritas 2015. "Belum masuk ke Prolegnas prioritas 2015," ujar Firman, awal bulan ini.
Pertengahan Februari lalu, DPR telah menyetujui sejumlah RUU masuk Prolegnas periode 2015-2019. Salah satu RUU di bidang politik, hukum, dan keamanan yang masuk Prolegnas lima tahunan itu ialah RUU Kamnas.
RUU inisiatif pemerintah selalu menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk para legislator pada periode sebelumnya, karena dikhawatirkan bakal menghidupkan sistem keamanan ala Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) era Orde Baru.
Dengan menyadari hal itu, DPR pun bertekad akan lebih memperhatikan substansi RUU tersebut. ''Banyak materi RUU Kamnas yang perlu dikaji kembali agar tidak menimbulkan kontroversi seperti yang sudah-sudah,'' ujar anggota Komisi I DPR dari F-PDIP TB Hasanuddin, Jumat (6/3).
Keamanan secara luas Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengatakan RUU Kamnas harus benar-benar mempertimbangkan sektor keamanan secara luas, bukan hanya dari sektor kepolisian atau militer.
"RUU Kamnas itu nantinya akan dibahas banyak komisi DPR dan kalangan akademisi untuk menyusun draf dan naskah akademiknya, dan bukan hanya bersifat sektoral. Bukan hanya lingkup kepolisian, tapi di luar itu ada keamanan kesehatan, dunia siber, media sosial, dan sebagainya sebagaimana diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat," jelas Mahfudz.
Ia juga berharap RUU itu jangan sampai menjadi tarik-menarik antara kepentingan TNI dan Polri. Apalagi, kata dia, sampai saat ini DPR belum mengetahui draf naskah akademiknya, siapa yang menyusun, dan kajian itu membutuhkan waktu yang lama.
''RUU Kamnas ini juga jangan sampai terjadi tarik-menarik antara kepentingan TNI/Polri. Jangan seperti RUU Kamnas yang dulu, yang masih dalam perspektif penegakan hukum dan ketika diterapkan di lapangan terjadi persaingan antara TNI dan Polri,'' pungkasnya.
Pengamat pertahanan Susaningtyas NH Kertapati mengatakan saat RUU itu dibahas DPR, harus dipastikan terlebih dahulu klausul-klausul yang mengkhawatirkan diubah dengan cara mengundang kembali stakeholder dan para pakar bidang keamanan.
Ia mengungkapkan sejumlah alasan yang membuat RUU Kamnas mendapat penolakan publik, antara lain karena substansinya terindikasi akan menabrak rambu-rambu HAM. ''Seperti Pasal 54 e yang mana ada kekuasaan khusus yang memiliki hak menyadap, menangkap, memeriksa, dan memaksa. Itu merupakan pelanggaran HAM,'' papar Susan.
Lalu, lanjutnya, Pasal 59 menjadi lex specialis, menjadi semacam payung yang menghapus UU lainnya termasuk UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Kemudian, Pasal 22 jo 23 memberikan peran terlalu luas kepada unsur Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai penyelenggara kamnas.
Juga, Pasal 10, 15 jo 34 tentang darurat sipil dan militer sudah tak relevan lagi bila acuannya pada UU Keadaan Bahaya Tahun 1959. ''Pasal 17 (4) menyatakan bahwa ancaman potensial dan nonpotensial diatur dengan keppres. Ini dianggap berbahaya bagi demokrasi dan sangat tiran,'' tegas Susan. Bukan agenda krusial Sementara itu, Direktur Program Imparsial Al Araf menegaskan, jika dilihat dari aspek urgensi, RUU Kamnas bukan agenda krusial yang diperlukan dalam menata sektor keamanan. Lebih jauh lagi, RUU tersebut mampu mengancam kebebasan sipil dan berimplikasi mengembalikan peran TNI seperti era Orde Baru.
''Bila substansinya tidak berubah, RUU Kamnas dapat mengancam kebebasan sipil dan kehidupan demokrasi. Kategori dan jenis ancaman yang karet, semisal pemogokan massal sebagai ancaman, diskonsepsi legislasi sebagai ancaman,'' paparnya.
Ia menjelaskan RUU itu dapat menghancurkan etika moral bangsa dan ancaman bagi keamanan nasional karena petugas penjaga kedaulatan bisa dilibatkan bersentuhan dengan sipil. Kemudian, semua warga negara yang kritis terhadap kekuasaan bisa dikategorikan sebagai ancaman keamanan nasional seperti pada masa Orde Baru.
''Di sinilah RUU Kamnas dapat mengembalikan format keamanan seperti masa Orde Baru di saat rezim bisa sewenang-wenang menyalahgunakan kekuasaan dan membatasi serta mengancam kebebasan publik,'' tandasnya.
Al Araf menambahkan RUU itu juga berimplikasi pada tugas baru TNI, yaitu berada di sekitar lingkungan masyarakat. ''Itu tampak dari pembentukan forum koordinasi keamanan nasional daerah. Di sini dapat mengembalikan fungsi Bakorinda seperti masa Orde Baru yang dapat mengekang kebebasan dan demokrasi di daerah,'' ungkapnya.
Lebih dari itu, kata dia, RUU tersebut tidak krusial karena tata kelola sektor keamanan yang dibutuhkan saat ini ialah mereformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 dan membentuk RUU Perbantuan guna meningkatkan kerja sama TNI dan Polri.
''Jika beralasan ingin menjaga keamanan, pengaturan keadaan darurat sebaiknya melalui revisi UU Darurat Nomor 23 Tahun 1959 yang mengatur tugas pokok TNI, bukan melalui RUU Kamnas yang menitikberatkan pada tugas kepolisian.''(Cah/Adi/P-3)