Kamis 05 Maret 2015, 00:00 WIB

Panggung-Panggung (Sandiwara) Politik

Nur Aivanni | Politik dan Hukum
Panggung-Panggung (Sandiwara) Politik

ANTARA/DODO KARUNDENG

 
''LIHATLAH dari kerendahan ini panggung terang dipenuhi boneka lipstik dan renda-renda menjadi tipu pemakan waktu merebut ruang ekspresi kita memenjara dalam gelap dan etika murahan.''

Itulah sepenggal kutipan puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Manusia Istana karya Radhar Panca Dahana. Kutipan tersebut diambil dari puisi yang berjudul Sobat Melodrama. Puisi tersebut dianggap sebagai yang mewakili gambaran dari apa yang ingin disampaikan sang penyair.

Thamrin Amal Tomagola, Sosiolog dari Universitas Indonesia menyampaikan dalam puisi tersebut mengenai orang-orang yang mencoba meraih kekuasaan dengan masuk istana dan menikmatinya. Dan, mereka selalu melihat dari tempat yang tinggi.

Karya sarat makna yang menuturkan manusia-manusia yang berusaha meraih kekuasaan dan mendapatkannya, tapi tidak melaksanakan janji-janji mereka terhadap rakyatnya.

Dalam kumpulan puisi setebal 184 halaman itu, ia pun mengkritisi keberadaan politisi di Indonesia yakni mereka kini tidak mempunyai keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai fundamental yang dijunjung tinggi di setiap peradaban manusia.

Tak hanya itu, menurut Thamrin, politisi pun tidak mempunyai pengetahuan dan perspektif. Karena itu, sambung dia, Radhar melalui puisinya ingin mengingatkan politisi jangan menekankan cara atau taktik kelicikan politik, tetapi lebih pada pemikiran-pemikiran yang mendalam terkait dengan nasib bangsa.

''Politisi itu harus bertransformasi menjadi pemikir politik, berpikir besar untuk kesejahteraan rakyat. Bukan hanya sebagai aktor dalam panggung politik.''

Seorang penyair, F Rahardi, menyampaikan bahwa kumpulan puisi yang dibuat Radhar menjadi amarah terhadap kondisi yang ada sekarang. ''Ingin mengkritisi keadaan masyarakat saat ini terkait kondisi pergolakan politik yang terjadi setelah reformasi,'' ujarnya.

Radhar pun mengelaborasi karyanya, bahwa makna di balik judul Manusia Istana ialah sebagai suatu refleksi. ''Politisi zaman sekarang bukan mengejar kebahagiaan masyarakat, tapi kekuasaan, dan kekuasaan larinya ke istana.''

Dalam karya yang dirampungkannya selama tiga tahun yang diilhami dampak buruk dari reformasi ia menjelaskan dalam dunia politik, kata-kata bergulir, beredar, dan mengelilingi meja-meja pengambil keputusan dalam makna yang sangat mentah.

Tiada kemasakan, tak ada kedalaman tanpa nuansa. Semua bahasa berkata secara pragmatis dengan maksud yang sangat praktis. Tiada lagi keindahan, estetika, dalam cara berpolitiknya. Kultur dalam politik kian miskin.(P/4)

Baca Juga

MI/Susanto

Uang Tunai dan Puluhan Tas Mewah Rafael Alun Disita KPK

👤Candra Yuri Nuralam 🕔Jumat 31 Maret 2023, 16:39 WIB
KPK membeberkan temuan hasil penggeledahan di rumah mantan aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Keuangan sekaligus tersangka kasus...
Antara/Hafidz Mubarak A

Pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia bikin Elektabilitas Ganjar dan PDIP Turun Tapi tak Signifikan

👤Faustinus Nua 🕔Jumat 31 Maret 2023, 16:36 WIB
Gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah akan berdampak pada elektabilitas Ganjar dan PDIP. Bila pemilu dilakukan hari ini, maka otomatis...
MI/Susanto

Pengamat: Erick Thohir Makin Difavoritkan Masyarakat sebagai Cawapres 2024

👤mediaindonesia.com 🕔Jumat 31 Maret 2023, 16:33 WIB
Pegiat media sosial politik Yuari Prayanto mengatakan, Erick Thohir menjadi figur yang muncul berkat kerja-kerja gemilang di Kementerian...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya