Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Ke Mana Anggaran Infrastruktur?

Effnu Subiyanto Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
06/12/2016 00:30
Ke Mana Anggaran Infrastruktur?
(ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

TAHUN fiskal 2016 akan segera berakhir. Potret kinerja pemerintah akan segera dapat disaksikan. Siapa pun mengetahui ketidakpastian ekonomi global masih menghantui. Betapa pun pemerintah seharusnya tidak menggunakan alasan eksternal sebagai pembenar beratnya mencapai target yang ditentukan sendiri. Rakyat sebetulnya sangat berharap pemerintah memiliki daya upaya yang khas dan unik untuk mengompensasi pengaruh eksternal. Sangat tidak puas sebenarnya jika hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi 5,02% sebagaimana kinerja kuartal III yang lalu.

Upaya pemerintah masih sangat kurang kuat karena sampai September total belanja masih Rp1.305,4 triliun dari total Rp 2.082,9 triliun atau 62,7%. Masih sangat tidak berimbang antara total waktu yang menjadi acuan dan serapan belanja. Akan menjadi ambigu dan perdebatan karena serapan belanja yang seret menyebabkan pertumbuhan ekonomi 5,02%. Sangat berbeda jika misalnya serapan belanja mencapai 80%, barangkali pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.

Sementara itu, sumber penerimaan negara juga tidak kalah mengecewakan. Sampai 27 Oktober 2016, jumlah penerimaan pajak ‘hanya’ Rp825,3 triliun atau masih 62,5% dari target Rp 1.318,9 triliun. Kementerian Keuangan bahkan sudah merilis pernyataan shortfall pajak akan mencapai Rp219 triliun atau minus 16,6% terhadap target dalam APBNP 2016.

Anggaran infrastruktur?
Persoalan defisit atau shortfall, realisasi belanja ialah dua sisi mata uang yang berdampak luas. Jika kemudian dihubungkan dengan utang pemerintah, pengaruhnya semakin dalam dan menjadi perhatian yang serius. Belanja tidak tercapai, capaian pajak shortfall, sementara komitmen pencarian utang baru semakin masif. Ada hal yang tidak pas, gim yang tidak sesuai, dan ujung-ujungnya pertaruhan atas nasib 245 juta rakyat Indonesia. Beban bertambah, sementara potensi benefit tidak dijamin.

Pertanyaan yang mudah, lalu di mana seluruh anggaran yang dijanjikan untuk percepatan infrastruktur dalam APBNP 2016 sebesar Rp315,3 triliun itu. Pemikiran yang sederhana seharusnya anggaran itu dihabiskan sempurna pada tahun ini. Sama halnya pada 2015, total anggaran infrastruktur sebesar Rp290,3 triliun juga harus habis. Jika dua tahun diakumulasi pada 2015 dan 2016, sejumlah anggaran Rp605,6 triliun seharusnya diserap sempurna. Katakanlah realisasi infrastruktur mencapai 62,7% sesuai kinerja belanja, paling tidak Rp379,71 triliun sudah terserap dan jumlah itu sangat banyak sekali.

Namun, di manakah bukti fisik penyelesaian infrastruktur itu. Progres proyek prestisius PLTU 35 ribu Mw selama 9 bulan sejak diluncurkan baru terealisasi 9,4% yang memasuki komersial atau commercial operating date (COD). Kinerjanya sangat perlahan, bahkan 71 dari 109 proyek baru tahap rencana dan pengadaan, malah 34 proyek pembangkit listrik ditemukan BPKP mangkrak tidak terurus selama 7-8 tahun. Lebih jauh jika mengacu pada proyek infrastruktur prioritas sesuai Perpres No: 75/2014 dan RPJMN 2015-2019, seluruhnya hampir belum dimulai yang artinya belum serupiah pun dibelanjakan.

Proyek strategis itu ialah proyek pelabuhan baru dalam skema transportasi sebanyak 10 proyek. Berikutnya proyek migas 3 proyek, telekomunikasi 1 proyek, air dan limbah 3 proyek, jalan 4 proyek, dan kelistrikan 9 proyek. Tidak jelas betul di manakah detail dalam proyek strategis dan proyek infrastruktur, yaitu bedanya dan sampai berapa persen kinerjanya.

Yang ada sangat tumpang-tindih dan sangat besar sekali pemerintah menggunakan ketidakpastian proyek itu menjadi saling klaim. Proyek strategis diklaim bagian proyek infrastruktur dan sebaliknya, proyek infrastruktur diklaim proyek strategis. Lagi-lagi rakyat dirugikan, berharap mendapatkan multiplier effect dari sebuah proyek, tapi tidak akan pernah terwujud sama sekali.

Yang mencemaskan jika realisasi anggaran infrastruktur tidak tercapai, amat mungkin pemerintah menggunakan ekses keuangan tersebut untuk membiayai belanja yang urgen dan mendesak. Lebih ironis, karena ketidakpastian pembangunan infrastruktur sangat tinggi, upaya hanya dilakukan normatif jika tidak terealisasi, anggaran di-switch ke belanja lain. Akhirnya memang timbul hipotesis baru, infrastruktur tidak tercapai sesuai rencana karena memang anggaran terpakai untuk keperluan lain.

Stop lip-service
Politik jargon, propaganda, kampanye, lip-service seharusnya dihentikan pada era yang sudah sangat informatif seperti saat ini. Era Presiden Jokowi sebetulnya sudah mendapatkan label sebagai pemerintah dengan fokus pembenahan dan pembuatan infrastruktur. Begitu banyak komitmen pendanaan untuk belanja modal dan dukungan dalam bentuk kebijakan relaksasi sampai dengan 13 paket kebijakan ekonomi.

Rakyat begitu tinggi menaruh harapan karena infrastruktur ialah satu-satunya harapan pada saat ekonomi global bergerak sangat perlahan. Ini sekaligus membuktikan rakyat Indonesia men-drive mayoritas ekonominya sendiri dengan hanya mengandalkan konsumsi dalam negeri sampai dengan 5%. Jumlah itu sangat besar melihat bahwa sejarah pertumbuhan ekonomi Indonesia tertinggi ialah 6,3% pada 2007. Ini sekaligus captive given bahwa pemerintah di atas kertas sudah mendapatkan 5% tanpa berupaya keras.

Rakyat hanya mengharapkan, jika memiliki rencana infrastruktur, dikerjakan dengan serius. Alokasi belanja diperuntukkan sesuai rencana, jika ada hambatan dikerjakan dengan sungguh-sungguh, bukan ditinggalkan. Setiap pelaksana proyek infrastruktur dan proyek strategis dipantau terus menerus. Saat ini Presiden Jokowi begitu sibuk meresmikan proyek-proyek di sana dan di sini, tapi tidak jelas proyek itu proyek yang mana. Malah sebagian ialah proyek-proyek yang dimulai pada presiden sebelumnya, artinya bukan proyek pemerintahan saat ini, dan tentu saja bukan dalam skema penganggaran infrastruktur Presiden Jokowi. Lalu di manakah wujud anggaran infrastruktur yang sebenarnya?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya