Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
SEBUAH video dan sederet foto yang saya terima membuat saya terkesiap. Seorang lelaki dewasa berkumis memeluk bocah sepantaran siswa SMP seraya menggoyang-goyang tubuh anak itu dengan gerakan yang sangat janggal. Juga terpajang sejumlah foto lelaki yang sama dengan anak-anak lelaki yang juga seumuran siswa SMP. Posenya mirip, memeluk ataupun dipeluk dari belakang. Disebut-sebut, lelaki dewasa itu ialah seorang guru. Dia, kabarnya, biasa berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Sesuai dengan informasi mutakhir, saya bergegas mengontak Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bali untuk mengecek sekaligus berkoordinasi dengan dinas pendidikan setempat guna mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Ketika terjadi kontak seksual antara orang dewasa dan anak-anak (individu berumur kurang dari 18 tahun), sebutannya sebetulnya perlu dibedakan. Tidak tepat, bahkan nantinya malah menyulitkan, memukul rata segala bentuk kontak seksual tersebut dengan penamaan pedofilia betapa pun korban masih berada dalam rentang usia anak-anak. Umur anak semestinya dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Pedofilia adalah istilah ketika anak yang menjadi korban orang dewasa masih berusia prapubertas. Hebefilia, viktimisasi terhadap anak-anak usia pubertas. Efebofilia, pemangsaan dengan anak-anak pascapubertas sebagai incaran.
Ketika terjadi kontak seksual, ketiga ragam kronofilia di atas memang berkonsekuensi hukum sama, yakni pidana bagi pelaku. Itu disebabkan tidak ada pembenaran apa pun bagi orang dewasa yang melakukan kontak seksual dengan anak-anak. Namun, terutama untuk kepentingan rehabilitasi atau penanganan psikologis, tiap sebutan akan punya implikasi berbeda satu sama lain. Pada peristiwa hebefilia, misalnya. Korban kanak-kanak yang sudah memasuki usia pubertas sedikit banyak telah mempunyai minat seksual. Karena itu, perlu dicek apakah korban kanak-kanak tersebut juga berinisiatif atau memiliki andil (perlibatan aktif) dalam interaksi seksualnya dengan pemangsa dewasa. Jika perlibatan aktif itu benar-benar dilakukan si anak, sesungguhnya bukan hanya si predator, korban pun perlu menjalani penanganan psikologis agar lebih mampu mengendalikan dorongan seksualnya yang tengah tumbuh sebagai salah satu ciri khas usia pancaroba.
Gambaran tersebut kian relevan pada kejadian efebofilia. Terlalu simplistis untuk menyikapi kasus efebofilia sebagaimana kasus pedofilia. Pasalnya, kendati individu yang menjadi korban memang masih berusia anak-anak (berdasarkan UU Perlindungan Anak), pada saat yang sama anak-anak itu sudah memasuki usia boleh nikah mengacu pada UU Perkawinan. Konsekuensinya, manakala seorang dewasa mengawini anak berusia 17 tahun, alih-alih mempersoalkannya secara mentah-mentah sebagai kejahatan efebofilia, ini lebih pas disikapi sebagai masalah perkawinan usia dini.
Tiga pembedaan di atas juga menjadi dasar untuk memastikan apa yang sesungguhnya dilakukan si predator: perundungan, pelecehan seksual, ataukah rayuan (grooming). Apa pun itu, sekali lagi, pelaku dewasa yang melakukan kontak seksual dengan individu berusia kanak-kanak tetap harus dikenai sanksi pidana. Masuk akal pula bila hakim memasukkan unsur eskalasi perilaku sebagai pertimbangan dalam menentukan beratnya hukuman bagi pelaku. Yakni, andai saja predator tidak diringkus, hari ini ulahnya bisa saja 'sebatas' sexting atau 'sekadar' peluk-peluk. Tapi pada waktu-waktu berikutnya, ia amat mungkin naik kelas dengan melakukan sentuhan lebih vulgar dan seterusnya hingga puncaknya ialah aksi pemangsaan berupa--maaf--persenggamaan dengan anak-anak.
Oknum saja tidak cukup
Saya merasa perlu menekankan kembali pentingnya sekolah bertanggung jawab dalam baik menangkal maupun menindak aksi-aksi kejahatan (seksual) yang berlangsung di lingkungannya. Mengecap guru pemangsa sebagai oknum, lalu memecatnya dari sekolah, belumlah memadai. Pendekatan paling ideal ialah dengan menambah borang akreditasi yang khusus berisikan informasi tentang kesanggupan dan keseriusan sekolah dalam menjadikan lingkungannya sebagai kawasan nirkekerasan. Salah satu bentuk program yang dapat dilakukan sekolah terkait borang tersebut ialah melakukan pemeriksaan psikologis bagi para calon guru. Tujuannya menyaring bahwa seluruh guru tidak memiliki orientasi atau kecenderungan seksual menyimpang. Betapa pun demikian, tetap perlu dipahami bahwa predator tidak selalu punya orientasi seksual jahat. Aksi pemangsaan seksual terhadap anak-anak bisa saja dilakukan orang-orang dewasa berdorongan seksual normal. Faktor situasi, yakni terkendalanya penyaluran hasrat seksual secara normal dan legal, yang membuat orang-orang dewasa normal itu melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Karena faktor situasi sangat menentukan, juga perlu dibangun resiliensi yang berpusat pada diri siswa. Sekolah patut menyelenggarakan orientasi bagi siswa baru serta sosialisasi periodik bagi siswa lama. Isinya ialah materi tentang UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Prinsipnya, mutlak penting bagi anak didik untuk melek hukum, mampu mengidentifikasi faktor-faktor risiko, nyaman menggunakan sistem pengaduan dan memahami ketentuan sanksi yang diberlakukan sekolah, serta menghayati ajaran agama dan moral. Semakin ideal apabila kegiatan orientasi semacam itu turut dihadiri orangtua siswa.
Paralel dengan itu, selain orientasi berkala bagi para siswa dan orangtua mereka sebagaimana tertulis di atas, induksi serupa juga diadakan dengan guru dan tenaga kependidikan sebagai sasarannya. Sekolah harus mengirim pesan tegas bahwa sekolah akan melaporkan ke polisi guru yang memangsa siswa. Sivitas akademika harus memastikan tidak ada jiwa korsa bagi siapa pun yang memviktimisasi anak didik. Sisi lain, sekolah juga tidak menghalang-halangi guru yang ingin merealisasikan hak-haknya sebagaimana tercantum pada UU Guru dan Dosen, termasuk untuk mendapat perlindungan ketika sedang berhadapan dengan kasus hukum.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved