Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Berani Bersatu Konsolidasi Spirit Kebangsaan

Imam Nahrawi Menteri Pemuda dan Olahraga RI
18/8/2017 00:04
Berani Bersatu Konsolidasi Spirit Kebangsaan
(PA)

KITA merasa belakangan ini semangat kebangsaan di Tanah Air sedikit merenggang. Situasi ini dipicu antara lain oleh menggumpalnya kembali primordialisme, entah agama atau kesukuan, yang diikuti sikap kurang empati terhadap pihak di luar kelompok. Belum lagi ketika pihak-pihak tertentu yang menginginkan Indonesia dirundung masalah turut andil. Persoalan tentu menjadi tambah runyam karena tantangannya tak hanya datang dari internal, tapi juga eksternal. Kalau kita konsisten dengan sejarah eksistensi republik ini, semestinya kita pun sadar kemerdekaan negara ini diraih dengan keringat dan darah berbagai elemen bangsa ini, bukan satu dua kelompok saja.

Konsekuensinya, hubungan yang setara antara sesama bangsa Indonesia yang plural merupakan sebuah keniscayaan. Lantas, kenapa spirit kebangsaan negara yang 72 tahun merdeka ini dilanda kerenggangan? Saya lebih suka menganalisisnya dengan merefleksi kondisi internal diri kita sendiri ketimbang sibuk menyalahkan pihak luar. Sepertinya ada satu penyakit dalam kepribadian kita sehingga membuat kemasyarakatan kita tampak kurang harmonis.

Kemerdekaan hakiki
Tak ada yang membantah rakyat Indonesia kini merdeka secara politik dari penjajahan bangsa lain. Namun, satu hal yang penting dicermati dari nikmat kemerdekaan ini, apakah bangsa Indonesia juga sudah merdeka dari belenggu egoisme individu atau golongan? Indonesia memiliki lebih dari 1.000 suku, ratusan bahasa daerah, dan ribuan unsur kebudayaan lain yang berbeda-beda. Kebinekaan tersebut tentu berdampak pada pluralitas kepentingan. Bayangkan bila tiap entitas itu sama-sama memaksakan keinginan, betapa kacaunya kehidupan berbangsa dan bernegara kita, apalagi jika perbedaan entitas tersebut digunakan sebagai satu-satunya dasar untuk berteman, berkumpul, bertetangga, berorganisasi dan berdemokrasi.

Menarik ketika kita baca kalam hikmah dari Syekh Ibnu 'Athaillah as-Sakandari, "Anta hurrun mimm anta 'anhu yisun wa 'abdun lim anta lah thmi'un (Engkau adalah orang yang merdeka dari apa yang tak kauinginkan. Dan engkau budak dari apa yang kauserakahi)."
Petikan bijak ini memberi kita pelajaran ada yang lebih hakiki di luar kemerdekaan politik, yakni pembebasan diri dari segala bentuk keserakahan yang muncul dari diri sendiri atau kelompok. Ini bukan tentang larangan untuk memiliki keinginan, melainkan tentang bagaimana kita mengelola keinginan agar tak menjadi ketamakan egois yang menafikan hak-hak entitas lain, baik di bidang kepemimpinan, ekonomi, kebudayaan, maupun sejenisnya.

Kita tahu manusia terlahir dalam lingkungan dan batasan-batasan sosial tertentu yang membuatnya kini masuk sebagai sosok dengan identitas tertentu pula: etnik, ras, kedaerahan, bahkan agama. Menghargai keberagaman berarti berani melampaui sekat-sekat sempit identitas itu lalu menyelami substansi prinsip bahwa manusia diciptakan setara.

Belajar dari sejarah
Situasi batin itu pula yang saya kira dialami para pendiri bangsa (founding fathers) ketika bersusah payah merumuskan titik temu pada masa awal-awal pendirian republik ini. Para tokoh tak lagi melihat kepentingan individu atau kelompok, tetapi nasib bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sidang BPUPKI 1945 ialah cerminan betapa komitmen kebangsaan mereka saat itu demikian kukuh. Perbedaan pandangan, perdebatan sengit, pertarungan kepentingan, dan kompromi-kompromi tentu ada. Namun, semuanya bisa terlewati karena kebesaran hati masing-masing dan visi yang luas dan berjangka panjang.

Jauh sebelum itu ikrar Sumpah Pemuda pada 1928 menandai berdirinya tonggak utama sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sumpah pemuda merupakan kristalisasi semangat beragam kalangan untuk menuju satu cita-cita Indonesia raya. Yang menarik dari fenomena terakhir ini ialah fakta peristiwa seheroik itu digerakkan kalangan muda, kalangan yang kadang dianggap labil dan tidak matang. Kenyataan ini menegaskan akan potensi dan progresivitas mereka dalam menciptakan terobosan perubahan.

Kita masih optimistis Indonesia dihuni mayoritas penduduk yang mempunyai kepedulian yang tinggi akan persatuan dan kesatuan negeri ini. Hanya, dinamika di dalamnya kadang menimbulkan gejolak yang bila tidak disikapi secara bijak akan menggerogoti keutuhan bangsa ini. Fenomena kerenggangan yang saya singgung di atas hanya akan menjadi masalah sesaat ketika kita insaf akan pentingnya kebersamaan dan terus-menerus berupaya mengonsolidasikan diri sesama anak bangsa Indonesia tercinta ini.

Diperlukan keberanian untuk menanggalkan ego kesukuan, ego agama, ego ras, ego etnik, dan ego golongan untuk menyatukan Indonesia. Saya menyebutnya dengan 'Berani Bersatu'. Jargon ini pulalah yang nanti kita gelorakan dalam Kegiatan Kirab Pemuda Nusantara 2017 di Kementerian Pemuda dan Olahraga RI dari Sabang-Merauke.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya