Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
SEJUMLAH wisatawan asing dan lokal duduk santai di hamparan pasir putih di tepi Pantai Pulau Hatta, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Mereka sedang menunggu matahari terbenam, sebuah peristiwa paling ditunggu-tunggu para wisatawan. Saat matahari mulai merambat untuk tenggelam, pemandangan di sekitar pantai cukup indah. Gradasi warna langit yang dipengaruhi sinar matahari menjadi pendukung terciptanya pemandangan yang sangat indah.
"Amazing! Indah sekali pantai ini. Luar biasa bagus sekali. Ini pantai yang indah. Lautnya bersih, biota lautnya bagus. Begitu juga ikan-ikannya," puji Gubernur Maluku Said Assagaff saat mengunjungi Pantai Pulau Hatta di sela-sela kunjungan kerja ke Banda untuk kegiatan Festival Pesona Budaya dan Rumah Peradaban Pulau Banda, Selasa (11/11).
Pulau Hatta tidak kalah populer dengan pulau-pulau lainnya di sekitar Maluku Tengah. Jika Pulau Naira banyak tempat bersejarah, Pulau Hatta menyuguhkan hamparan pasir putih dan pesona matahari terbenam yang dinantikan banyak wisatawan.
Pujian keindahan Pulau Hatta juga dilontarkan wisatawan asal Prancis yang sedang berlibur di situ. Michel bersama istrinya mengaku terpesona oleh keindahan Pulau Hatta yang tidak kalah dengan Bali. Meski Pulau Hatta ialah destinasi wisata, infrastruktur untuk mendukung peningkatan jumlah wisatawan di sana belum terbangun, misalnya, penginapan, listrik, dan air bersih. Gubernur Said Assagaff pun ingin membeli lahan untuk membangun cottage agar wisatawan bisa menginap di Pulau Hatta.
Gubernur kemudian meminta kepala desa setempat, Sudar Raharusun, untuk mencari tanah. "Pak Raja (sebutan untuk kepala desa) tolong carikan saya satu lokasi tanah kosong. Nanti saya bayar. Saya mau bangun cottage. Sewaktu-waktu bisa libur bersama keluarga bisa menginap di cottage," ujar gubernur. Sudar berjanji mencari tanah kosong.
"Namun, di sini yang masih menjadi persoalan ialah listrik dan air bersih. Selama ini listrik yang kami peroleh hanya dari genset yang kami miliki. Banyak rumah penduduk yang masih menggunakan penerangan sederhana," ujarnya. Akses air bersih dan jalan juga demikian. "Warga di sini mengandalkan air hujan. Pembangunan jalan juga belum ada. Hanya ada jalan setapak," ungkapnya.
Beli air bersih
Keluhan soal air bersih dan listrik juga diungkapkan pemilik homestay, Jufri. Ia membenarkan listrik dan air bersih menjadi keluhan para wisatawan. Menurutnya, untuk mendapatkan air bersih, ia harus memasok air dari Pulau Naira atau Kampung Baru, yang berjarak 1,5 km. Setiap hari ia harus membeli air bersih dari pulau tetangga. Rata-rata 10 galon air bersih berharga antara Rp6.000-Rp10 ribu. Kondisi itu menyebabkan kunjungan wisatawan di Pulau Hatta rata-rata hanya 60 sampai 70 orang setiap hari.
Untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat mengandalkan penampungan air hujan. Selain wisata pantai yang indah, Pulau Hatta memiliki agrowisata pohon pala. Sebagian besar hutan di Pulau Hatta dipenuhi dengan pohon pala, yang menjadi komoditas unggulan masyarakat Banda. Wisatawan bisa memetik langsung buah pala saat musim panen. Tidak sedikit wisatawan Eropa memanfaatkan acara petik buah pala itu untuk sekaligus mengenang leluhur mereka yang datang ke Indonesia. "Sebagian pohon pala di Pulau Hatta merupakan sisa-sisa yang ditanam pada penjajahan Belanda," kata Sudar.
Persoalan lain yang dihadapi masyarakat Pulau Hatta ialah kebersihan pantai. Masih banyak wisatawan dan masyarakat sekitar membuang sampah sembarangan. Karena itu, warga desa menegakkan peraturan bagi wisatawan yang membuang sampah sembarangan. "Kami punya aturan setiap wisatawan yang datang membawa dua botol minuman atau tas plastik. Saat meninggalkan pantai harus membawa barang-barang itu seperti saat mereka datang," jelas Sudar. Dengan cara itu, kini kawasan pantai tampak bersih. Para wisatawan dengan kesadaran sendiri harus membuang sampah di tempat yang sudah ditentukan.
Pesona budaya
Untuk memopulerkan pulau-pulau di sekitar Banda Naira ini, Pemerintah Provinsi Maluku menggelar berbagai festival kesenian dan kebudayaan. Pada Oktober lalu telah digelar Festival Teluk Ambon dan Festival Pesona Meti Kei. Pada November, Pesona Budaya Banda dan Rumah Peradaban digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maluku Tengah. Agenda tahunan ini digabung dengan acara rumah peradaban. Said Assagaf pun membuka Festival Budaya Banda dan Rumah Peradaban pada 11 November lalu di depan istana mini Banda Naira.
Berbagai kegiatan dilombakan dalam festival tersebut, seperti perahu belang (kora-kora), yang memperebutkan piala bergilir bupati (Bupati Cup), lomba memancing tradisional, lomba foto bawah laut, klompen raksasa, lomba kuliner, dan lomba joget empang. Lomba perahu belang atau panggayo manggurebe ialah salah satu mata lomba dalam kegiatan festival tersebut. Kegiatan itu menyita perhatian masyarakat, termasuk wisatawan yang sedang berlibur di Banda. Dalam lomba perahu belang, ada dua kategori, yakni perahu belang nasional dan adat. Lomba itu diikuti 17 negeri yang tersebar di Kecamatan Banda.
Assagaff mengapresiasi kegiatan yang diselenggarakan Pemkab Maluku Tengah itu. "Festival Pesona Budaya Banda dan Rumah Peradaban ialah konsep atau gagasan yang cerdas dari Pemkab Maluku Tengah dan masyarakat Banda. Acara ini sangat penting. Ini upaya Pemprov Maluku yang sedang mempercepat pembangunan di bidang pariwisata," ujar Assagaff.
Untuk mewujudkan pembangunan pariwisata, Pemprov Maluku akan memberikan beasiswa kepada putra dan putri Maluku untuk studi di bidang pariwisata, pembenahan, dan pembangunan infrastruktur pariwisata. (N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved