Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
MASIH dari Bali, nama Indonesia juga eksis dalam 2015 US Secretary of State’s Award for Corporate Excellence (ACE) yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Sang jawara, East Bali Cashews (EBC), terletak di Desa Ban, Karang Asem, Bali. Produksi kacang mete kulit siap makan ini diekspor ke beberapa negara. “Paling besar konsumsinya memang di Amerika,” ujar pemilik EBC, Aaron Fishman, saat berbincang dengan Media Indonesia saat berbicara di @america, Jakarta, awal April lalu.
Kisah tentang EBC dimulai dengan investasi Rp1,5 miliar untuk membangun pabrik pertama. Sebanyak 350 orang yang semula rata-rata mempunyai pendapatan hanya Rp15 ribu per hari ia pekerjakan dan kini pendapatan mereka berlipat. “Indonesia memiliki kualitas mete terbaik di dunia. Sayangnya, pengemasan untuk dijualnya masih belum baik. Saya coba memaksimalkan ini agar para penduduk lokal bisa mendapatkan keuntungan yang lebih baik lagi,” sambungnya.
Uniknya, sebanyak 85% karyawan yang bekerja dengan Aaron ialah perempuan. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat lokal yang memang mayoritas petani ialah perempuan.
“Mereka kini bisa membangun rumah, meningkatkan kualitas pertanian, serta tingkat kesehatan. Kini 60 ton EBC per bulan diekspor ke delapan negara. Selain dari Bali, kami mengumpulkan mete dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,” kata Fishman.
Hambatan birokrasi
Fishman berharap tahun ini produksinya bisa meningkat dua kali lipat dan tahun depan menjadi tiga kali lipat dengan banyaknya dukungan yang datang. “Permasalahan utama peningkatan kapasitas pabrik ialah birokrasi serta ketersediaan air. Dalam sehari EBC bisa mengonsumsi delapan tangki dengan harga Rp500 ribu per tangki,” ujar Fishman.
Kini total varian kacang mete yang diproduksi ada enam rasa, yakni garlic paper, sea salt, chili crunch, chocolate, sasme ginger, dan native. Sebulan terakhir ia menambah dua varian baru yang dikombinasikan dengan material lain bersama remah-remah mete yang tidak terpakai.
”Sebanyak 50% dari 1 kilogram mete ternyata pecah. Kami lalu membikin produk yang lebih kecil. Remah mete jadi varian produk lain seperti popcorn, chasew crumble. Kulit kacangnya dipakai biomas untuk steaming. Sebelum dikupas harus di steam dulu agar bisa dibuka dengan mesin,” jelas Fishman.
Director of Asia-Pacific Public Affairs pada Kohlberg Kravis Roberts (KKR), firma investasi global di AS, Steve Okun, mengatakan EBC merupakan model perusahaan yang akan terus berkembang dan mampu menjadi tren wirausaha yang berkelanjutan dalam bisnis dan pemberdayaan masyarakat.
“KKR selalu mencari wirausaha yang memiliki bisnis yang sudah berjalan dan memberikan bantuan bisnis dengan investor pihak ketiga. Kami ingin menunjukkan bisnis ini memiliki dampak sosial,” pungkas Okun. (Fik/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved