Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
DISRUPSI digital yang berkembang sangat cepat, mampu menggantikan beberapa pekerjaan manusia yang aktivitasnya berulang. Namun Ekonom Chatib Basri mengatakan sebenarnya ruang bagi pekerjaan konvensional tetap ada, hanya saja perlu redefinisi dari jenis pekerjaan dan keahlian yang perlu ditambahkan.
"Pola bisnis di masa lalu berdasarkan informasi yang terbatas, dengan produk yang diciptakan terbatas. Kedepan, pengaruh big data maka membuat semua layanan menjadi personilized. Dengan demikian, dari kemungkinan 5,1 juta orang yang akan kehilangan pekerjaan, sebagian dari mereka akan kembali bekerja dengan keahlian yang sudah dilatih," ujarnya dalam seminar disrupsi digital yang diadakan Media Indonesia, di Jakarta, hari ini.
Para startup fintech, kata Chatib, mampu membuat coding yang menghubungkan algoritma dengan sosial media, dan berbagai rekam jejak data baik keuangan, kesehatan, dan pendidikan, sehingga profile akan terbentuk tidak lagi hanya demografi, hingga sosio-psikografi seseorang.
Rekam data ini, suatu hari nanti bisa digunakan perbankan untuk menentukan tingkat bunga yang berbeda untuk tiap orang, bisa digunakan bagi transportasi untuk frekuensi transportasi yang dipakai seseorang tiap hari, hingga dimanfaatkan asuransi untuk rekam kesehatan polis sesuai kebutuhan dengan premi yang lebih murah.
Di pasar finansial market, kini tidak perlu lagi hadir ke bank fisik untuk transaksi. Teller akan kehilangan pekerjaan. Tapi mereka akan tetep bekerja kalau memiliki bentuk keahlian baru.
Sehingga terbentuk redefinisi pekerjaan. Pekerjaan tetap sama tapi new skill set ini akan berbeda.
"Perubahan dari pola bisnis model dari tidak data insentif, menjadi data insentif. Akibatnya pekerjaan akan hilang. Tapi menurut saya yang terjadi redefinisi dari pekerjaan. Profesi akuntan, pelayan toko tetap ada. Tapi dia akan butuh data. Perawat tetap ada, tapi dia harus bisa mengoperasikan mesin yang mengolah data,"
Juga ke depan, kata Chatib, akan terjadi keseimbangan antara ritel konvensional dan digital. Ini terlihat bahwa Jack Ma dengan Alibabab sudah invetasi US $8 miliar di Hypermarket, sebuah toko fisik, serta Amazone menjual membangun bisnis offline di Seattle. Sebab meski perubahan terus terjadi, segmentasi pasar tidak akan sepenuhnya hilang.
Sementara itu untuk fintech, meski mahir dalam analitic data profile, namun paymen sistem akan tetap berada di bawah wewenang perbankan. Di sisi lain, perbankan tidak memiliki keahlian untuk data coding. Maka kolaborasi harus tercipta.
"Mengingat data yang terbesar ada di Telko. Jadi bila kerja sama terjadi antara Telko, Bank, FinTech, saya kira dia akan menjadi ekonomi yang kuat,"
Sayangnya diakui Chatib, regulator dalam hal ini pemerintah tidak akan bisa catch up berlaru dengan kecepatan perkembangan digital. Sebab ciri khas birokrasi adalah keseragaman. Sedangkan digital sangat fleksibel.
"Yang dibutuhkan ke depan, adalah birokrasi yang fleksible. Kalau birokrasi diskresi maka sistemnya tidak ada. Bagaimana regulator bisa buat aturan kalau esok hari yang diatur barangnya tidak adalagi karena disrupsi. Peraturan kemenhub ojek online, yang hanya selama 3 jam. Kemudian aturan Jasa Keuangan tidak lagi bisa berlaku kalau buka akun bank harus face to face. Regulasinya menjadi tidak relevan lagi,"
Maka peran sektor swasta menjadi penting untuk mendapat benefit dari disrupsi. Berbagai pelatihan penting diberikan sesuai kebutuhan perkembangan bisnis sektor swasta.
"Hal ini hanya bisa dilakukan di private sector. Kalau Anda minta pemerintah untuk lakukan itu, percaya semua tamatan balai kerja pemerintah harus ditraining lagi," tukas Chatib. (OL-7)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved