Kebijakan Tata Niaga Gula Nasional Dinilai Perlu Dievaluasi
KEBIJAKAN tata niaga gula nasional dinilai perlu dievaluasi. Kebijakan pemerintah yang hanya memberi lisensi impor kepada BUMN sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117 Tahun 2015 Pasal 5 (2) disebut tidak efektif dan menyebabkan harga gula tidak stabil.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi, mengatakan pemerintah perlu melakukan revisi terhadap beberapa peraturan dalam tata niaga gula nasional, salah satunya Permendag No 117/2015 tersebut.
“Revisi ini penting untuk mendorong terciptanya proses pemberian lisensi yang lebih adil dan transparan untuk mencegah terjadinya praktik kartel oleh BUMN ataupun importir-importir swasta,” jelas Hizkia melalui keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia, Selasa (13/11).
Kebijakan pemerintah tersebut, menurut Hizkia, menyebabkan tingkat persaingan pasar gula akan tetap oligopolistik walau tidak ada batasan jumlah gula yang diimpor. Pasalnya, jumlah importir yang terlibat masih terbatas. Dengan demikian, BUMN yang memiliki lisensi impor tetap mampu mengontrol harga gula dengan mengendalikan jumlah gula yang diimpor.
Hizkia memprediksi, dengan merevisi Permendag No 117/2015 perusahaan industri gula tidak akan lagi menimbun stok gula dan melakukan spekulasi harga karena mereka harus menghadapi persaingan yang semakin ketat seiring bertambahnya importir gula.
"Sementara itu, para konsumen akan memiliki lebih banyak pilihan karena adanya pasokan gula dari para importir yang jumlahnya semakin bertambah," ujarnya.
Selagi mengimplementasikan perubahan-perubahan ini, pemerintah diimbau untuk tetap mengontrol jumlah gula yang diimpor sebagaimana yang ada diatur dalam Permendag nomor 117 tahun 2015 pasal 3. Selama pemerintah masih memegang kendali penuh terhadap jumlah gula yang diimpor, Hizkia menambahkan, diharapkan hal ini dapat meminimalisir perlawanan dan penolakan yang mungkin akan timbul dari para petani tebu dan industri gula dalam negeri terhadap proses reformasi pemberian lisensi impor sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pada Agustus harga rata-rata nasional untuk gula kristal putih di Indonesia mencapai Rp12.386 per kilogram (Kg). Harga ini hampir tiga kali lipat dari harga dunia, yaitu sebesar Rp4.591,48 per kg pada periode yang sama berdasarkan International Sugar Organization (ISO).
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat bahwa konsumsi rata-rata nasional untuk gula kristal putih per orang di Indonesia mencapai 0,58 kg per bulan atau 6,93 kg per tahun pada tahun 2017 (BPS 2017).
Sementara, lanjut Hizkia, di akhir tahun 2017, garis kemiskinan di Indonesia ditetapkan sebesar Rp370.910 per bulan (BPS, 2018). Hal ini berarti bahwa mereka yang berada pada garis kemiskinan menghabiskan hampir 2% (Rp7.183) dari penghasilan bulanan mereka untuk membeli gula kristal putih dan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan menghabiskan proporsi yang lebih besar lagi dari penghasilannya.
“Berdasarkan perhitungan ini, sebuah rumah tangga yang beranggotakan lima orang akan menghabiskan sekitar Rp35.000 untuk gula kristal putih setiap bulan, padahal seharusnya mereka dapat menghemat sekitar Rp22.000 per bulan jika saja harga gula di Indonesia sama murahnya dengan di pasar dunia,” urainya. (OL-6)